Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ramah Anak Tetaplah Mimpi Selagi Sekulerisme Terpatri

Tak mungkin ada asap jikalau tak ada api. Kausalitas itu nyata. Beberapa waktu belakangan publik Yogyakarta dikejutkan oleh peringkat akses pornografi oleh anak. Naasnya, kota Yogyakarta dinobatkan sebagai kota pengakses pornografi oleh anak tertinggi kedua se-Indonesia setelah kota Semarang. Tingginya akses pornografi oleh anak tentunya menjadi fakta memilukan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Sepakat dengan apa yang disampaikan oleh ibu Martanti Indah Lestari (pendamping Kampung Ramah Anak Yogyakarta),  benar bahwa pasti ada yang salah dari kurikulum maupun pembelajaran di sekolah yang mengakibatkan hal itu. Dengan apa dan bagaimana mereka dididik merupakan factor kunci pembentukan kepribadian anak. Hanya saja itu bukan ‘titik api’ nya. Hal yang lebih mendasar yang harus segera dipadamkan adalah sekulerisme yang diakui atau tidak menjadi nyawa dalam pembentukan kepribadian anak Indonesia. Sebagai negeri muslim terbesar, Islam memang diajarkan sejak dini- bagi pemeluknya- di negeri ini, namun dengan ‘pengebirian’ yang keji. Islam – yang notabene sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan- sebatas digunakan untuk memoles spiritual anak nir kecakapan menyelesaikan problem di semua lini kehidupan. Anak diajarkan sholat, puasa, zakat, haji dan beragam ibadah spiritual lainnya. Bahkan sejak pendidikan usia dini sudah banyak anak-anak imut nan lucu saat ini yang fasih melantunkan al-Quran dan bahkan menghafalnya. Ada juga –sempat viral beberapa waktu ini- anak 3 tahun yang pawai melantunkan sholawat nabi. Tentunya semua itu luar biasa. Hanya saja akan jauh lebih sempurna jika juga diberikan pemahaman utuh terkait bagaimana seharusnya bersikap yang baik dalam seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, pergaulan dan lain sebagainya. 


Sudahlah dipersempit ruang lingkup pembahasannya, itu pun dengan tanpa memiliki keberpengaruhan pada jiwa anak. Hal ini diakibatkan oleh karena Islam diajarkan sebagai keilmuan ansich. Sebatas dipelajari untuk diketahui bukan untuk diamalkan. Belajar, hafal, lulus ujian dan selesai. Diakui atau tidak, pengerdilan tujuan edukasi pun nyata terjadi. Tentu saja metode pengajaran yang demikian tak akan berbuah persepsi atas realitas, alih-alih keyakinan yang mendorong amal. Oleh karenanya, munculah fenomena ‘sudah diajarin agama dari kecil tapi kok masih tetap  penasaran dengan pornografi dan merasa eksis dengan porno aksi’, ‘rajin berhaji tapi kok gemar korupsi’, ‘hafal al-Quran tapi kok maksiat tetep jalan’ dan fenomena-fenomena sejenis lainnya. 

Ilustrasi anak di Panti Asuhan, sumber Simpul Sedekah

Tak hanya sistem pendidikan, media social dan social media pun turut berperan. Anak muda mana yang saat ini tak menenteng gadget di tangan. Oleh karenanya wajar jika pengguna internet banyak diisi oleh kalangan muda. Tahun 2014, UNICEF, bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi, The Berkman Center for Internet and Society, dan Harvard University, melakukan survey nasional mengenai penggunaan dan tingkah laku internet para remaja Indonesia. Studi ini memperlihatkan bahwa ada setidaknya 30 juta orang remaja di Indonesia yang mengakses internet secara reguler. Kebanyakan dari 30 juta remaja pengguna internet ini tinggal di daerah perkotaan seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Banten. Tahun 2016, dalam survey APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) ditemukan bahwa media sosial merajai konten internet sebagai yang paling sering diakses netizen. Tercatat 97,4 persen orang Indonesia mengakses akun media sosial saat mengunakan internet. Bahkan temuan yang paling mengejutkan disebut Henri Kasyfi Soemartono, Sekretaris Jenderal APJII adalah persentase pengguna internet pada kelompok usia 10-14 tahun yang mencapai 100 persen dengan jumlah 768 ribu. Maka wajar jika banyak dijumpai disekitar kita ‘dimana ada remaja disana ada sosial media. Pagi, siang, sore dan malam tak ada bosan untuk update status, upload foto, stalking akun ‘gebetan’, ngikutin gossip seleb kesayangan atau sekedar share dan viralkan. Dimanapun berada tak lupa gadget dibawa, bahkan di kamar mandi pun ada yang tetap menentengnya. Di mata anak muda zaman now, lebih baik putus cinta daripada habis kuota.Tak ada yang menyadari bahwa sejatinya mereka sedang membawa pisau yang dapat membunuh masa depannya jika tidak piawai menggunakannya. Benak generasi milenial massif disuguhi dengan tayangan atau gambar beraroma pornografi demi mengejar klik maupun oplah produksi. Mulai dari iklannya sampai pada konten narasi di dalamnya. Tak bisa dipungkiri ujung-ujungnya duit. Hal ini ‘legal’ dengan dalih kebebasan berekspresi dan berpendapat. Padahal dampaknya sangatlah mengkhawatirkan. Pantikan rasa ‘penasaran’ tersebut akan diikuti dengan penelusuran konten pornografi yang lebih dalam dan intens.

Orang tua pun tak lagi berdaya mengawasi buah hati karena terpaksa bekerja sepanjang hari. Tak hanya ayah, sang ibu pun harus turut berjibaku di dunia kerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Meroketnya biaya hidup merupakan fenomena yang tak bisa dipungkiri. Gas melon bermutasi menjadi gas ‘stroberi’ secara pelan tapi pasti. Tarif listrik, biaya pendidikan, biaya kesehatan dan lain sebagainya pun kian menjadikan neraca anggaran pendapatan dan belanja keluarga cenderung deficit. Demikianlah, liberalisasi pengelolaan kekayaan negeri ini telah mengubah negeri berpunya menjadi negeri papa.

Kenapa bisa demikian? Karena sekulerisme telah mengilhami dan melegalisasi lahirnya liberalism, dimana manusia lah satu-satunya pihak yang memiliki otoritas pengaturan atas hidupnya di luar ranah ibadah spiritual. Padahal akal manusia tetaplah memiliki keterbatasan pandangan terkait hakikat nilai/value. Sangat rentan ditunggangi kepentingan pribadi/golongan, sarat dengan subjektifitas dan rentan perpecahan/perselisihan. Paham liberal/serba bebas yang lahir dari rahim sekulerisme inilah yang membunuh kepribadian generasi. Jadi, selagi sekulerisme menjadi jiwa maka ramah anak takkan tercipta.

Negeri yang ramah anak hanya akan mampu diwujudkan oleh Negara yang menghapuskan sekulerisme dalam setiap sendi kehidupannya. Alih-alih melegalkan, paham liberal tak akan dibiarkan tumbuh dan berkembang. Dan tentunya hal ini membutuhkan keberanian dan ketegasan pemimpin negeri. Political will nya harus ada agar mimpi bisa berubah menjadi realita. Tak hanya jargon, perlu ada aksi nyata yang sinkron untuk benar-benar merealisasikannya. Akan kah negeri tercinta ini berani, mampu dan mau? Mari kita lihat seiring bergulirnya waktu.

Oleh: Mayangsari Rahayu, S.Si (Pemerhati Perempuan, Keluarga, dan Generasi)

Posting Komentar untuk "Ramah Anak Tetaplah Mimpi Selagi Sekulerisme Terpatri"